Oleh: Ali Imron (Ayahanda Mushonnifun Faiz)
Memenuhi undangan Forum Muslimah Al-Fadilah, Wartawan Komunikasi Ali Imron melawat ke Hong Kong. Negeri kecil berpenduduk padat, yang nyaris seluruh daratannya penuh gedung ramping menjulang tinggi. Di negeri Beton, sebutan lain HK, ia menginap di kawasan Causeway Bay, tempat tingal kebanyakan orang Indonesia. Ia juga sempat mengunjungi Hong Kong Central Library. Ia juga sempat jalan-jalan di Victoria Park dan Kow Loon Park, tempat Buruh Migran Indonesia Hong Kong (BMI-HK) beraktivitas, yang kini berjumlah lebih dari 105 ribu orang. Berikut catatan perjalanannya untuk pembaca Komunikasi.
“Kami ingin mengundang putra Bapak lagi. Soalnya, kawan-kawan sudah kangen sama Ananda Faiz, putra Bapak”, ujar Ibu Sulistiani, BMI-HK asal Lampung, Ketua Forum Muslimah Al-Fadilah Hong Kong (FMA-HK) Cabang Kow Loon, via telepon. Karena pada bulan Juni 2005, sudah pernah diundang oleh Persatuan Dakwah Victoria Hong Kong (PDV-HK), untuk berceramah di depan mereka, maka anakku Faiz langsung hooh saja.
Sebagai papanya, saya katut anak. Dalam istilah kawan saya, Rosyid Al Atok, saya lagi oleh barokahe anak. Barokah flight dengan Garuda tipe Airbus 330-300 gratis, barokah menginap di Apartemen lantai 19, barokah menikmati keindahan Hong Kong (HK), barokah bisa mengamalkan ilmu di sana. Dan, semoga juga termasuk barokah, saya baru menyaksikan anak saya, yang mereka sebut Dai Cilik itu, begitu dielu-elukan seusai memberi tausiyah. Mereka indent. Ingin mengundang ketika cuti/pulang ke daerah masing-masing.
Terkesan Kecerdasan BMI
Ternyata, para BMI-HK luar biasa cerdas di negeri orang. Begitu kami landing di International Hong Kong Airport, mereka sudah menjemput. Linda, BMI asal Cilacap, yang menjemput saya, lancar berbahasa Inggris dan...... Kanton. Di airport, saya disambut pramu promosi, yang membagikan brosur wisata HK, lengkap dengan peta dan rute-rutenya. Dengan membaca brosur itu saja, para pendatang di HK sudah tidak kesulitan kalau mau melancong kemana saja. Karena sudah tercantum lengkap berbagai peta rutenya, jenis transportasi udara-darat-laut yang dapat dipilih, beserta tarif yang harus dibayar.
Oleh Linda, kami ditawari naik taksi, MTR (kereta api bawah tanah), atau bus kota. Karena bus kota di HK lebih nyaman ketimbang bus malam kelas eksekutif di Indonesia, kami pilih bus kota. Selain agar mengenal lebih banyak dengan komunitas HK, sekaligus bisa menikmati keindahan HK.
Pilihan kami ternyata tak keliru. Sejak di air port, saya sudah terpesona keindahan HK. View-nya bagus. Kotanya tertata apik, tata ruangnya terkesan by design, gedung-gedungnya menjulang tinggi dan artistik, kendaraan padat tetapi tidak pernah macet, dan para pengguna jalannya sangat taat aturan. Kebersihannya? Jangan tanya. Sangat terjaga karena orang tidak bisa membuang sampah, meludah dan merokok sembarangan. Di airport, pelanggar merokok didenda 5000 dolar HK. Di jalan, orang meludah juga di denda 2500 dolar HK. Apa lagi sampai membuang sampah. ”Di sini, supremasi hukum berjalan baik. Siapapun melanggar akan kena denda”, ujar Linda, bangga.
Kebetulan, Linda yang menjemput saya sedang cuti dan tidak pulang ke anah air. Saat saya ke HK tahun 2005, BMI yang menjemput tidak sedang cuti. Hanya mendapat ijin dari majikan beberapa jam. Maka, sayapun dijemput estafet sampai 3 kali. Dijemput dari air port oleh ketua organisasi, di jalan diimbalkan ke ketua panitia, dan kemudian diimbalkan lagi ke salah seorang anggota. Benar-benar cerdas. Dengan waktu yang relatif terbataspun, mereka ternyata masih pintar mengorganisasi diri, dan bisa aktif berorganisasi.
Banyak Berjalan dan Antri
Bayangan bahwa hidup di negeri maju itu "serba otomatis" ternyata tak selamanya benar. Ke mana mana banyak jalan kaki. Tak peduli rakyat, tak peduli pejabat. Tak peduli majikan, tak peduli buruh. Semua sama saja. Ketika saya berjalan bersama-sama seorang pejabat Konsulat Jendral Republik Indonesia (KJRI), beliau juga banyak bejalan kaki.
Mengapa berjalan kaki? Tidak punya uangkah mereka? Terlalu kikirkah mereka? Ternyata tidak. Mereka punya uang banyak. Mereka tidak kikir, meski hemat. Penyebabnya? Mereka semua taat aturan. Bus tidak boleh berhenti di sembarang tempat, memuat penumpang. Taksi harus menunggu di tempat mangkalnya. Ojek tidak ada. Becak tidak ada. Jadi? Semua pengguna kendaraan, harus naik kendaraan di tempatnya. Di terminal. Di halte. Di tempat pemberhentian. Maka, kalau ingin naik taksi, ya harus berjalan ke tempat mangkalnya, meski mungkin 4 km. Apa lagi mau naik bus, naik kereta api bawah tanah, naik komuter. Yang saya angap aneh, tidak banyak motor seperti di sini. Tak banyak mobil pribadi. Nyaris semua penduduk pakai jasa kendaraan umum.
Tapi, ternyata justru di situlah rahasianya. Karena semua taat aturan, tidak ada kemacetan. Tidak ada bus yang berangkat terlambat. Tidak ada kereta api terlambat. Meski semua pakai kendaraan umum, dijamin tidak ada yang terlambat. Kata Witati, BMI asal Blitar, orang HK itu disiplin waktu. Mau ketemu harus bikin appointment. Meski nyaris semua pakai kendaraan umum, dijamin bisa tepat waktu. Dijamin bisa memenuhi appointment.
Yang lain dengan di Indonesia, adalah ketika mau makan di restoran, depot atau kantin. Setidaknya untuk mereka yang Indonesian habit. Nyaris semua tempat makan di HK selalu antri pembeli. Kalau di dalam ruangan orang menunggu giliran service, maka di luar ruangan orang berdiri menunggu giliran masuk. Ketika kami diajak makan di Islamic Centre Canteen, lantai 3 Masjid Jamik Islamic Union Centre, di Warung Malang, semuanya juga harus antri. Warung Malang adalah warung yang di miliki oleh Bapak Haji Nur Ali, orang Malang yang sudah lama tinggal di HK, dan menjadi warga negara HK. Ia menyewa apartemen di lantai 4, berdampingan dengan Bank BNI. Di HK, nyaris semua warga negara menyewa apartemen. Di negeri sosialis seperti HK, nyaris semua fasilitas publik dimiliki oleh negara. Dan, tampaknya, negara memang memenuhi semuanya.
Faiz dan Ayahnya, bersama pengurus FM Al-Fadhilah Hong Kong seusai pengajian
Kunjungi Perpustakaan HK
Kami ditawari kawan BMI wisata ke Ocean Park atau Disnely Land. Kata mereka, kalau tidak ke Ocean Park sepertinya belum ke HK. Tapi, anakku lebih pilih Hong Kong Central Liberary. Perpustakaan yang dekat dengan Victoria Park itu memang besar. Berlantai 8, dengan koleksi bahan pustaka lumayan lengkap. Nyaris semua koran dan majalah besar Indonesia tersedia di sana. Saat masuk, kami tidak ditanya kartu anggota, karena memang siapapun boleh masuk dan membaca koleksi yang tersedia. Semua gratis. Kecuali kalau mau mendapatkan topik tertentu, atau pesan buku tertentu, so pasti harus membayar.
Di lantai 4, ada ruang internet yang diprogram dengan hampir semua bahasa dunia. Kendati aksesnya luar biasa cepat, semua gratis. Saya yang warga asing, juga bebas memakai, selama perpustakaan masih buka. Yang mengagumkan, meski saya orang asing, untuk masuk perpustakaan tidak usah banyak tanya. Di lantai, sudah tersedia manual lengkap, sehingga orang awampun sudah merasa terpandu. Di situ ada bagan gedung berlantai 8 dengan seluruh ruangannya. Panduan untuk pengguna di masing-masing lantai juga tersedia. Dengan melihat panduan yang tersedia, pengunjung akan langsung njujug ke lantai yang dikehendaki, dan akan mendapatkan koleksi yang dicari dengan mudah.
Di lantai 4, koran dan majalah Indonesia banyak dipajang. Ada Media Indonesia, Kompas, ada Tempo, ada Gatra, ada Femina dan Sarinah. Tampaknya, media Indonesia inilah yang jadi jujugan BMI kita. Toh, di HK sendiri, sebenarnya juga ada koran berbahasa Indonesia yang terbit. Namanya Berita Indonesia. Dibagikan gratis dan tidak dijual. Sedangkan Radio yang populer, namanya Radio Nongkrong Bareng....
Faiz dan Ayahnya di depan HONG KONG CENTRAL LIBRARY
Victoria dan Kow Loon Park
Tiap hari Minggu BMI kita ada hari free. Tidak bekerja. Mereka banyak beraktivitas di Victoria dan Kow Loon Park. Macam-macam aktivitasnya. Tapi, sebagian mereka, masih mempertahankan budaya.... bangsa. Ada yang berlatih menyanyi bersama. Ada yang berlatih masak memasak. Ada yang berlatih macak-memacak. Yang juga marak, adalah aktivitas keagamaan: pengajian, belajar iqro’, tahlil, yasinan, diba’an, istighosah, bernasid, dan masih banyak lagi.
Mirip di tanah air, BMI kita juga banyak mendirikan berbagai macam organisasi, baik yang bernuansa sosial maupun dakwah. BMI dari Cilacap dan Purwokerto, mendirikan Capto Al-Masyithoh. BMI Jawa Timur mendirikan Azzahra. BMI Jateng mendirikan Ilham. BMI Malang, ada yang mendirkkan Al-Hikmah. Tapi, ada juga yang anggota organisasnya lintas daerah, seperti Al-Fadlilah, Birrul Walidain, Nur Muslimah. Dan, beberapa organisasi yang ada, juga ada yang bergabung. Persatuan Dakwah Victoria adalah gabungan dari berbagai organisasi dakwah.
Pola Makan di HK
Ketika makan di HK, yang saya ingat adalah cerita sahabat saya, Dr. Wasis Dwijogo, M.Pd, yang juga pernah melawat ke Cina dan HK beserta istri, Dra. Carolina L. Rajah, M.Kes. Kata Pak Wasis, demikian kami biasa memanggil, pola makan di negeri Cina dan HK patut kita tiru. Dalam sebuah jamuan makan, yang dihidangkan dulu adalah sayur. Di tengah makan sayur, buahnya “dikeluarkan”. Saat makan buah, aneka ikan laut dihidangkan. Setelah itu, baru lauk pauk yang lain. Hidangan penutupnya? Justru nasi. Minuman penyertanya? Teh Cina yang terkenal harum dan punya banyak khasiat. Saat masih panas dan hangat, teh ini sangat sedap meski tanpa gula. Baru setelah dingin, terasa pahit. Orang Cina dan HK biasa minum teh tanpa gula.
Apa yang diceritakan Pak Wasis, ternyata juga saya alami. Terutama ketika saya makan di di Islamic Centre Canteen. Suatu kantin yang menyajikan masakan Cina, di lantai III bawah Masjid Islamic Union. Maka, dengan pola makan seperti itu, orang Cina dan HK tidak banyak yang obesitas. Kebanyakan langsing dan modes. Apa lagi sehari-hari banyak jalan kaki. Ternyata, dengan pola makan baru itu, Cina yang jadi pengimpor beras, diprediksi menjadi pengekspor beras.
Faiz di Islamic Centre Canteen bersama dengan keluarga Bpk Ogik,
Direktur Dompet Dhuafa', Hong Kong
Sibuk Kerja
Nuansa kehidupan HK memang sedikit beda dengan di tanah air. Nyaris seluruh orang HK sibuk kerja. Tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan. Sampai-sampai, saking kerasnya bekerja, sehingga ketika ada yang menikah juga tidak banyak yang mendatangi. Saya menyaksikan pemandangan langka, ketika saya tahu pasangan-pasangan yang baru menikah berjalan kaki. Penganten lelaki pakai jas, penganten wanita pakai busana penganten. Baju panjang penganten wanita, supaya tidak terseret mengenai tanah, dipegangi oleh penganten pria. Kamera untuk mengabadikan pernikahan, ia tenteng sendiri.
Tidak ada pengiring? “Orang HK tidak sempat jadi pengiring, Pak. Semua sibuk kerja”, kata Anis, BMI asal Blitar, yang bersuamikan TKI di Jepang. Ternyata, jadi pengantenpun tidak ada yang mengantar. Bahkan, saya juga sempat dimintai tolong memotret mereka berdua, dengan kamera yang mereka tenteng. Saya mengira penganten berjalan berdua di tengah hiruk pikuk kota itu hanya peristiwa kebetulan. Ternyata, berkali saya menemui sepasang penganten berjalan di tengah-tengah kota. Saat menyeberang laut, dengan kapal Veri pun, mereka juga berdua. Dalam batin saya, kok seperti penganten-pengantenan. Kalau di tanah air bisa dikira penganten ucul. Sebab, saat berada di Plaza, seusai pernikahan, mereka juga sempat membeli sovenir. Ketika pulang, juga pakai kendaraan umum. Tapi di wajah mereka tampak ceria, menunjukkan ekspresi gembira.
Akrab Sampai di Tanah Air
Keakraban BMI HK ternyata terbawa sampai ke tanah air. Di Purwokerto dan para keluarga BMI selalu mengadakan silaturrohim tiap tahun. Dikemas dengan halal bi halal. Anak saya, Faiz, sering diundang berceramah di hadapan mereka. Di sela-sela pengajian, ada santunan yatim piatu dan fakir miskin, yang dilakukan oleh perwakilan BMI yang cuti pulang. Jumlahnya juga lumayan. Pernah 3 BMI Purwokerto memberi santunan Rp. 11 juta.
Saat anak saya berceramah di Cilacap, 4 orang BMI pernah memberi santunan fakir miskin sejumlah Rp. 20 juta. Saat diundang di Blitar, 2 orang BMI memberi santunan anak yatim Rp. 14 juta. Di Wajak, ada BMI yang mendirikan TPQ Al-Hikmah, yang dirancang dua lantai. Baru satu lantai yang sudah selesai. Tampaknya, gaji mereka, yang berjumlah sekitar Rp. 3,5 juta perbulan, memungkinkan untuk melakukan banyak kegiatan sosial. Apa lagi makan, minum, pakaian dan sewa apartemen sudah ditanggung majikan. BMI Kendal juga pernah mengundang.
Toh, meski di sana kebanyakan sebagai pembantu rumah tangga, sering juga membuat heran majikan. Bagaimana tidak, ketika di HK oleh majikan dianggap miskin, ketika majikan diajak ke Indonesia langsung kagum. Majikan di HK nyaris tidak ada yang punya rumah (karena semua sewa apartemen), para buruhnya malah bisa punya rumah bagus dan bisa beli tanah dan kebun luas. Rata-rata BMI kita memang banyak yang berasal dari pelosok pegunungan. Hasil kerja keras di negeri orang banyak yang dibelikan kebun. “Saat saya ceritai kebun saya yang luas di lereng gunung, majikan selalu ingin ikut ke Indonesia. Majikan heran, bagaimana saya yang cuma PRT, bisa punya kebun luas di lereng gunung”, kata Umi Yasin, BMI asal Kesamben Blitar, yang sudah di HK selama 8 tahun, dan majikannya pernah ikut ke Kesamben (AI).
Jumat, September 12, 2008
Dapat Berkah ke Negeri Beton
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan Comment, No Span, No Porn!